BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita Sorotan

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

Karakter merupakan suatu kualitas pribadi yang bersifat unik yang menjadikan sikap atau peri laku seseorang yang satu berbeda dengan yang lain. Karakter, sikap, dan perilaku dalam praktek muncul secara bersama-sama. Sehingga sulit jika kita hanya akan melihat karakter saja tanpa munculnya sikap atau perilaku. Oleh karena itu berbicara tentang karakter tidak dapat dipisahkan dengan sikap atau perilaku, sebab karakter itu akan muncul ketika orang berinteraksi dengan orang lain atau makhluk cipataan Allah lainnya. Secara psikologis konsepnya adalah konsep individual. Jika kemudian hal tersebut menjadi suatu karakter bangsa maka perlu adanya acuan. Artinya dari konsep individual menjadi sebuah konsep kemasyarakatan dan lebih luas lagi bangsa, maka haruslah ada instrumen sebagai alat evaluasi yaitu kebudyaan. Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma dan kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarsakat pengembangnya, sehingga anggota masyarakat dalam wilayah budaya tersebut memiliki kecenderungan yang sama dalam hal mengamalkan sistem nilai, norma dan kepercayaan mereka. Dengan demikian dalam konteks ini budaya dapat dianggap sebagai instrumen untuk melihat kencenderungan perilaku pengembangnya. Dari kedua konsep di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perilaku merupakan resultan dari berbagai aspek pribadi dan lingkungan. Jadi berbicara tentang karakter merupakan konsep psikologi dan kebudayaan.

Karakter itu bersifat dinamis, dapat berubah dari suatu periode waktu tertentu ke periode lainnya, walaupun tidak mudah. Sebagai salah satu contoh adalah, dulu sering dikatakan bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang mempunyai karakter sopan, santun, altruistik, ramah tamah, berperasaan halus dll yang menggambarkan sebuah sikap atau perilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti. Bagaimanakah kondisi sekarang? Banyak yang meragukan bahwa karakter tersebut masih menjadi ikon Bangsa Indonesia.
Jauh-jauh di awal kemerdekaan kita, Bung Karno, Presiden RI pertama, sudah mendengung-dengungkan istilah “nation and character building”. Artinya ada kondisi karakter bangsa yang saat itu sudah ada, namun harus diubah. Jadi bapak bangsa itu sudah mengidentifikasikan karakter yang dianggap negatif, sehingga perlu diubah. Pencanangan perlunya membangun karakter atau watak bangsa sebagai bangsa Indonesia baru sesungguhnya telah direalisasikan. Karakter bangsa yang sudah terbentuk ratusan tahun sebagai pengabdi kepada penjajah atau bangsa terjajah, pengabdi kepada raja-raja kecil yang terkotak-kotak, pengabdi kepada kegelapan, tahyul, pengabdi kepada feodalisme, dll yang semua itu tidak cocok lagi dengan arah perwujudan bangsa atau warga negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bertaqwa, beradab, bersatu, bermusyawarah, adil dan makmur. Jadi cuci otak, cuci hati, dan cuci kepercayaan harus dilakukan untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Indonesia merdeka tidak butuh pengabdi-pengabdi kepada hal-hal diatas. Perlu bangsa yang berjiwa besar, nasionalis, berintegretas tinggi, menjadi subyek di tanah air yang merdeka, setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia dll. Pokoknya jika menggunakan kata-kata yang saat ini populer adalah bangsa yang ?oke?.

Jika kini kita mau membangun karakter bangsa, persoalannya adalah karakter Bangsa Indonesia itu yang mana? Kalau karakternya orang Bali, Jawa, Madura, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Ambon, Irian, dll suku bangsa yang ada di Indonesia, mungkin sudah ada. Tetapi kalau karakternya Bangsa Indonesia tampaknya belum jelas. Bangsa Indonesia dapat dikatakan secara resmi terbentuk ketika para pemuda dari berbagai suku bangsa yang antara lain tersebut di atas pada tanggal 28 Oktober 1928 menyatakan sumpahnya yang kemudian dikenal dengan ?Sumpah Pemuda?, mengakui berbangsa yang satu Bangsa Indonesia, Bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Jadi pada tahun 1928 secara fisik bangsa Indonesia sudah terbentuk. Namun secara psikologis, sosial budaya, ekonomi, dll karakter bangsa belum mengkristal, lebih-lebih ketika kita hendak tetap menjaga kebhinekaan kita. Dulu, pada era orde baru dan orde lama diajarkan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Jika hal ini kita pegang maka karakter bangsa Indonesia adalah Pancasilais. Karena merupakan sebuah kristal budaya maka karakter itu maka kelima sila tiu merupakan satu kersatuan, bukan satu-satu. Akan tetapi kini Pancasila meskipun secara yuridis formal masih diakui sebagai dasar negara, tetapi pamornya kalah dengan demokrasi. Karakter bangsa yang demokratis kini lebih mengedepan. Semestinya warna demokrasi di Indonesia mestinya berbeda dengan demokrasi di negara lain. Memang perbedaan itu dapat terlihat, setidaknya pelaksanaan demokrasi yang cederung berbau kekerasaan, pemaksaan, dan anarkhis. Masalah lainnya, hampir semua karakter luhur itu bisa dimiliki oleh semua manusia di dunia tanpa melihat suku atau bangsa apa. Misalnya karakter altruistik mungkin saja tidak hanya menjadi ikon sebuah bangsa tetapi banyak bangsa-bangsa di dunia yang berkarakter demikian. Jadi sesungguhnya karakter itu hanya bersumber dari dua sifat khusus yaitu malaikat dan setan. Ada karakter kemalaikat-malaikatan dan kesetanan. Dapat ditambahkan dalam kondisi empirisnya campuran antara keduanya.

Kasus-kasus dalam kehidupan bangsa.

Jika sekelompok karakter dianggap menjadi ciri khas sebuah bangsa maka karakter tersebut akan sering atau selalu muncul dalam perilakunya. Jika batasan ini dipakai sebagai acuan maka karakter yang mendorong timbulnya atau memberi warna perilaku yang sering muncul dalam kehidupan bangsa merupakan karakter bangsa. Kasus-kasus dibawah ini akan memberi gambaran tentang perilaku banyak orang yang sering muncul dalam kehidupan bersama. Dari kasus-kasus di bawah ini dapat digambarkan karakter bangsa saat ini.

1. Di Jalan
Mungkin di semua kota besar di Indonesia dapat kita jumpai perilaku berkendara yang sangat buruk. Yaitu perilaku berkendara tidak tertib sehingga menjengkelkan, menakutkan, mengerikan bahkan mencelakan pengendara lain yang berniat tertib. Di tepi sebuah ruas jalan tol di Surabaya sampai di pasang spanduk yang berbunyi ?Hormatilah Hak Orang Lain untuk Selamat?. Sungguh mengerikan. Tidak salah jika ada yang menafsirkan bahwa hati-hatilah banyak malaikat penyabut nyawa sedang mengendarai mobil.

2. Pendekar salah musuh
Ada tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, tawuran suporter, tawuran penikmat musik, tawuran antar desa/kampung, tawuran antar anggota dewan meskipun tidak seru, dll. Empat petawur yang di depan tampaknya sudah lebih sering daripada yang lain.. Pada tiap-tiap tawuran dapat kita lihat ada pendekar-pendekar disana. Tetapi sayang pendekar-pendekar itu salah musuh. Dalam banyak legenda, musuh pendekar adalah penjahat. Namun sayang mereka berkelahi dengan saudara sendiri. Pada kejadian ini bukan tawurannya yang patut kita sorot, tetapi kemampuan dalam pengendalian diri masing-masing pihak.

3. Tindak Kekerasan
Jika kita simak media masa cetak maupun elektronika, akan kita dapati bahwa tiada hari tanpa tindak kekerasan apa pun bentuknya. Ada mutilasi, ada orang babak belur, ada orang membuang anak, membuang bayi, dan tak terhitung banyaknya kekerasan dalam rumah tangga.

4. Standar Ganda
Standar ganda yang paling menonjol tampak pada iklan rokok. Semua iklan rokok menampilkan karakter atau tindakan yang hebat-hebat, mulai dari karakter individu maupun sosial. Ada dua substansi yang ingin disosialisasikan yang pertama ?jadilah perokok karena merokok dapat meningkatkan status, gengsi, dan kebahagiaan?. Namun secara sekilas diperlihatkan peringatan ?merokok dapat menyebabkan kanker, ganguan jantung, impotensi, kehamilan dan janin?.

5. Promosi
Diskon, hadiah, bonus, merupakan kondisi umum yang ada sepanjang tahun di pasar dalam arti luas. Tetapi super market yang ada di berbagai mall yang paling getol mempraktekkan jenis promosi ini. Bayangkan ada harga sebuah barang yang selalu didiskon. Artinya harga barang yang sebenarnya adalah harga yang sesudah didiskon tersebut. Tetapi pembeli tetap puas karena merasa mendapatkan harga yang lebih murah.

6. Korupsi
Kasus yang satu ini benar-benar unik. Demikian hebat penjalaran virus mental korup ini sampai-sampai berkembang sebuah konotasi bahwa orang yang menyanyi soal korupsi adalah orang yang tidak mendapat bagian atau tidak mendapat kesempatan. Naiti jika bagian atau kesmpatan tersebut sudah didapatkan pasti diam.

7. Ramalan
Ramalan adalah bagian dari system kepercayaan. Ada ramalan ilmiah, intuitif, dan para normal. Yang paling menonjol adalah ramalan tentang nasib dan masa depan yang dibuat oleh para normal. Banyak orang yang rela mengeluarkan uang atau datang ke tempat jauh untuk meramal keberuntungannya. Praktek perdukunan atau sejenisnya yang bukan menjadi ciri sebuah bangsa modern ternyata kini dapat memberi peluang untuk menjadi sumber penghasilan.

8. Pamer
Ada pamer otot, pamer kekayaan, pamer kepandaian, pamer sosial dalam bentuk pahlawan kesiangan dll. ?Bapakku punya mobil baru. Bapakku rumahnya yang baru. Bapakku punya jalan dan jembatan? ? Iklan yang maksudnya mendorong orang agar menjadi subyek pajak yang baik ini, mengingatkan kondisi anak-anak yang senang pamer. Anak-anak dari keluarga bahagia yang dipamerkan apalagi jika bukan orang tuanya. Bapakku guru, bapakku polisi, bapakku dokter ? ini model pamer anak-anak 30 ? 50 tahunan yang lalu.

9. Di Sekolahan
Pelajar yang melakukan kecurangan dalam mengerjakan tes baik tes evaluasi bulanan ataupun tahunan tetap menjadi berita. Jumlah pelajar yang melakukan kecurangan apa pun bentuknya beberapa dekade terakhir ini berbanding terbalik dengan dekade awal-awal kemerdekaan. Dulu jumlah pelajar yang jujur lebih besar daripada yang curang dalam evaluasi hasil belajar. Tekniknya juga turut berkembang mengikuti perkembangan teknologi informasi.

10. Ngerumpi
Ada kelompok ngerumpi anak-anak pada jam istirahat bahkan saat pengajaran berlangsung tetap ada pengerumpi, pemuda di sudut-sudut jalan atau pos kamling, ibu-ibu, dan bapak-bapak. Kalau pengusaha, pejabat, dan orang-orang berduit lainnya tempat ngerumpinya berbeda, ada yang di lapangan golf, di caf? yang ada wifinya, ada juga yang ngerumpi di lokalisasi. Para pembantu rumah tangga ngerumpi di depan rumah majikannya dengan menggunakan HP. Para pegawai ada yang ngerumpi menggunakan face book di saat jam kerja. Bagi bangsa ini ngerumpi tampaknya sudah menjadi bagian dari kesejahteraan jiwa.

11. Di Desa (terutama yang tertinggal)
Kesederhanaan, keramahtamahan, gotong royong, tolong menolong, toleransi, empati, dll yang mengindikasikan perilaku yang baik masih banyak diamalkan di sana.

Masih banyak kasus-kasus aktual yang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini yang dapat dibeberkan. Tetapi 11 kasus di atas cukup menjadi dasar dalam menentukan bentuk dan arah pembangunan karakter bangsa. Jika Pancasila masih diterima sebagai kristal keluhuran nilai-nilai budaya bangsa maka karakter yang tercermin dalam lima sila itulah yang harus tetap diinternalisasikan kepada segenap orang-orang Indonesia yang kemudian melebur menjadi Bangsa Indonesia. Caranya mudah. Ajarkan dan beri contoh penerapannya secara konsisten dan kontinyu kepada anak-anak bangsa ini untuk melawan setan dan bersahabat dengan malaikat. Tatalah lingkungan yang pro Pancasila.

Penulis adalah sekum BKKKS Jatim.

Related posts

PELATIHAN KETRAMPILAN PRDUKTIF

admin01

Konsepsi BK3S Jatim sebagai sebuah model “Social Entrepreneurship”

admin01

SEABAD HARI KEBANGKITAN NASIONAL & KEBANGKRUTAN NASIONAL

bk3s
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?