Masyarakat lebih memilih membeli kambing daripada membiayai pendidikan sekolah anak. Karena kambing bisa menghasilkan uang untuk biaya hidup. Pola pikir yang berkembang di masyarakat Desa Sidodadi Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang inilah yang menggelorakan semangat para guru SD didesa tersebut untuk melakukan perubahan.
Masjid dipertigaan jalan di Desa Sidodadi Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang itu memang cukup megah untuk ukuran desa. Dilingkungan masjid itu pula berdiri gedung sekolah MTs Nurul Iman dibawah pengelolaan Yayasan Istiqomah. Disitulah anak-anak Desa Sidodadi dan sekitarnya melanjutkan sekolah setelah tamat dari SD.
Tapi itu kondisi saat ini yang tentunya berbeda dengan 20 tahun silam. Ketika itu kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya hingga tingkat lanjutan masih sangat rendah. Mereka lebih suka membeli kambing karena dianggap lebih produktif daripada mengeluarkan biaya untuk anak sekolah.
Pola pikir masyarakat untuk menyekolahkan anak itu menjadi perhitungan betul secara ekonomi. Misalnya untuk biaya sekolah katakan Rp 10 ribu perbulan, bila dihitung setahun Rp 120 ribu. Jumlah tersebut bila dibelikan kambing justru akan mempunyai nilai produksi. Padahal masa depan anak itu tidak bisa dijawab dengan beberapa ekor kambing. Pola pikir demikian inilah yang harus diubah.Karena bagaimanapun masa depan bangsa berada pada anak-anak saat ini. Kalau biaya pendidikan hanya diperbandingkan dengan nilai produksi dari hewan ternak, tentu saja kualitas anak tidak akan bagus. Artinya sampai kapanpun kualitas SDM di desa ini juga tidak akan pernah ada peningkatan, papar Drs Turniadi, Kepala Sekolah SDN Sidodadi III.
Tak mengherankan bila saat itu banyak anak Desa Sidodadi, setelah tamat SD sudah tidak bersekolah lagi. Apalagi jarak desa dengan SMP terdekat sekitar 15 km. Bersekolah saat itu memang belum menjadi kebutuhan utama, apalagi kondisi ekonomi rata keluarga didesa ini juga tergolong lemah. Bekerja untuk menopang kebutuhan ekonomi keluarga, itulah yang menjadi pilihan anak-anak Desa Sidodadi setelah tidak melanjutkan sekolah.
Sebagai seorang pendidik, kondisi ini membuat resah Drs Turniadi. Karena bagaimanapun masa depan keluarga dan bangsa ini bergantung pada kualitas anak-anak saat ini. Kalau para orang tua hanya menganggap biaya pendidikan sebagai beban maka tidak akan ada peningkatan kualitas SDM dimasa datang. Maka saat itulah Drs Turniadi mensosialisasiakan ide bahwa pendidikan anak adalah investasi masa depan.
Ide itupun disampaikan kepada wali murid SDN Sidodadi III pada setiap rapat wali murid. Tidak hanya itu, Turniadi juga masuk dan ikut terlibat dalam jamaah Yasin dan Tahlil di desa. Di forum inilah Turniadi mencoba memaparkan ide-idenya. ?Saya itu lahir di desa ini. Tapi sejak SMP saya bersekolah di Malang. Dan basis organisasi keagamaan yang saya tekuni adalah Muhammadiyah. Sementara masyarakat Sidodadi adalah Nadiyin. Tapi hal itu bukanlah kendala. Bagi saya organisasi keagamaan hanyalah alat untuk membangun masyarakat,? ungkap Turniadi yang juga Kepala Sekolah MTs Nurul Iman.
Prinsip inilah yang membuat Turniadi tidak menjadikan perbedaan organisasi keagamaan sebagai jurang pemisah yang selalu dipertentangkan. Sehingga tanpa canggung, Turniadi masuk dan terlibat dalam jama?ah Yasin dan Tahlil di desanya. Satu prinsip lagi yang dipegang Turniadi dalam membangun masyarakatnya yaitu bila ingin melakukan perubahan maka tokoh masyarakat, baik yang positif maupun negative harus didekati dan dirangkul. Apalagi saat itu masyarakat Desa Sidodadi dalam menjalankan agama masih sebatas agama ?warisan?. Sehingga pemahaman dalam beragama perlu ditingkatkan dan dikembangkan.
Dengan kondisi masyarakat seperti itu, semakin membuat tekad Turniadi untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang berbasis agama. Maka pilihan jatuh untuk mendirikan sebuah MTs di Sidodadi. Dengan asumsi, bila ada MTs di desa, maka anak-anak Desa Sidodadi tidak perlu jauh-jauh bila ingin melanjutkan sekolah. Disamping itu MTs bisa sebagai wadah pembentukan generasi penerus yang berkualitas dengan berbasiskan agama.
Merintis memang tidaklah mudah dan akan banyak kendala yang dihadapi. Seperti juga dihadapi Turnadi dan teman-temannya yang peduli pendidikan. Untuk mendirikan MTs mereka harus berhadapan dengan image masyarakat tentang lembaga pendidikan agama tersebut. ?Masyarakat menganggap bahwa sekolah di Madrasah tak ubahnya anak belajar mengaji di Surau atau di langgar. Bahkan masyarakat juga menggap bahwa dari madrasah tidak bisa melanjutkan sekolah dan paling-paling jadi modin,? tutur Turniadi.
Tapi semangat untuk melakukan perubahan sudah menggelora dikalangan pendidik di Desa Sidodadi. Kendala dihadapi untuk ditemukan solusinya. Hasilnya pada tahun 1996 berdirilah MTs Nurul Iman yang berada dilingkungan Masjid Istiqomah. Sejak itu pula siswa lulusan SDN Sidodadi banyak yang melanjutkan sekolahnya dan masuk di MTs Nurul Iman.
Perubahan sudah terjadi. Para orang tua sudah punya keinginan kuat agar anaknya bisa terus bersekolah. Namun permasalahannya adalah biaya operasional sekolah termasuk untuk kesejahteraan para guru. Karena untuk menarik biaya dari wali murid dengan nilai yang tinggi juga tidak mungkin. Mengingat kondisi wali murid yang kebanyakan buruh tani tentu sangat keberatan. Tak mengherankan bila saat itu para guru MTs Nurul Iman hanya bisa membawa pulang Rp 7.500 per bulan. Dan itupun berlangsung hingga program BOS diluncurkan pemerintah.
?Kalau sekolah lain menganggap bantuan BOS masih dirasa kurang, kami justru merasa sangat terimakasih. Karena sebelum ada BOS, kami memungut biaya untuk kesejahteraan guru itu dari siswa. Kalau dikatakan sejahtera itu ya?ndak karena dalam satu bulan guru disini waktu itu hanya mendapat Rp 7.500 dan paling tinggi Rp 25 ribu. Padahal rata – rata mereka berlatar belakang pendidikan S1, dan itu sudah berjalan sejak berdiri. Kemudian sejak adanya BOS, pendapatan guru bisa ditingkatkan rata-rata Rp. 50 ribu,?papar Turnadi?.
Dari program BOS, kami menerima dana Rp 27 ribu kali 62 siswa. Untuk kesejahteraan guru kami menerima Rp 1,5 juta per bulan.Dana itulah yang kami kelola untuk operasional sekolah. Biaya itu semakin meningkat manakala menjelang Agustus dimana banyak lomba yang diselenggarakan. ?Jadi mohon jangan ditanyakan dari mana dana tambahan itu kami peroleh. Karena kami tidak sampai hati untuk mengungkapkan,? tandas Turnadi.
Kini kesadaran orang tua untuk memberikan pendidikan pada anak sudah meningkat jauh dibanding 20 tahun lalu. Tapi semangat para pendidik di Desa Sidodadi ini tetap bergelora. Bahkan kini muncul cita-cita bersama untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Untuk realisasi cita-cita tersebut, kini sudah tersedia lahan yang berada dilingkungan masjid.
Sementara untuk MTs Nurul Iman juga terus ditingkatkan kualitasnya salah satunya dengan adanya ruang perpustakaan. Laboratorium untuk praktek elektronik dan computer juga telah disediakan. Tapi jangan ditanya, bagaimana tentang kelengkapan laboratorium tersebut. Jelas masih jauh dari sempurna, karena memang dana sangat terbatas. Kendati demikian tingkat kelulusan di MTs ini selalu 100 %. (gt)