BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita

PENDIDIKAN INDONESIA YANG SEMAKIN TIDAK KOMPETITIF

Prakata : Kita masih ingat bahwa pada tahun 1970-an banyak sekali guru-guru SMP-SMA dan dosen PTN yang dikirim untuk membantu pengajaran di Malaysia. Bangsa Malaysia yang lebih kurang dalam budaya pendidikannya dengan pasti berbenah diri dan dalam dasawarsa 1990-an telah mampu membangun perguruan tinggi yang secara rata-rata lebih baik dibandingkan Indonesia

PENDIDIKAN INDONESIA YANG SEMAKIN TIDAK KOMPETITIF

(Indeks Pendidikan yang menurun)

Media massa Indonesia pada akhir tahun 2007 ini banyak yang menyoroti tentang perkembangan pendidikan nasinal kita. Kompas tanggal 31 Desember 2007 melaporkan bahwa Indeks Pendidikan Indonesia menurun. Selanjutnya Koran terbesar dan paling berpengaruh di negeri kita ini menulis bahwa dari laporan Global Monitoring Report 2008 (UNESCO) yang terbit bulan Nopember yang baru lalu ternyata telah terjadi pergeseran dalam mcapaian indeks pembangunan pendidikan antara Indonesia dan Malaysia. Sampai dengan laporan tahun yang lalu peringkat Indonesia selalu diatas Malaysia, tetapi tidak dengan tahun 2007. Malaysia melonjak enam tingkat dari peringkat 62 menjadi 56. Sebaliknya Indonesia peringkatnya turun dari 58 menjadi 62. Dalam EDI (Education Development Index) yang terdapat dalam laporan EFA ( Education For All) Indonesia turun dari 0,938 menjadi 0,935 sedangkan Malaysia naik dari 0,934 menjadi 0,945. Ini berarti bahwa Malaysia tinggal butuh kenaikan 0,005 saja untuk mencapai angka EDI 0,950 yang akan memasukkan negeri jiran itu kedalam kelompok negara dengan ?indeks pendidikan tinggi?. Posisi yang meningkat dan semakin membaik dari Malaysia ini tidak lepas dari keberhasilan mereka untuk meningkatkan capaiannya dari tahun ketahun sejak tahun 2002.

Untuk diketahui bahwa EDI merupakan indeks gabungan dari Angka Partisipasi Pendidikan Dasar, Angka Melek Huruf, Angka Perimbangan Partisipasi Jender dan Angka Bertahan ( mengukur kemampuan anak didik untuk bertahan hingga kelas 5 Sekolah Dasar). Penulis yakin bahwa andaikan telah ada ukuran EDI pada akhir tahun 1966 ( Akhir Orla dan memasuki Orba) tentu capaian Indonesia meskipun tidak setinggi sekarang tetapi sudah dapat dipastikan jauh diatas Malaysia. Kita masih ingat bahwa apada than 1970-an banyak sekali guru-guru SMP-SMA dan dosen PTN yang dikirim untuk membantu pengajaran di Malaysia. Bangsa Malaysia yang lebih kurang dalam budaya pendidikannya dengan pasti berbenah diri dan dalam dasawarsa 1990-an telah mampu membangun perguruan tinggi yang secara rata-rata lebih baik dibandingkan Indonesia. Arus kemudian berbalik arah. Bukan lagi mahasiswa Malaysia yang kuliah di Indonesia, akan tetapi anak-anak Indonesia yang berduyun-duyun belajar di Malaysia. Program-program Pasca Sarjana baik untuk tingkat S2 maupun S3 perguruan tinggi Malaysia telah banyak menarik minat mahasiswa kita.

Mendiknas tidak setuju penurunan EDI dibesar-besarkan.

Prof Dr Bambang Sudibyo MBA Menteri Pendidkan Nasional RI dalam menanggapi turunnya EDI Indonesia meminta gar media massa tidak membesar-besarkan. Alasannya menurut pemngamatan pihaknya adalah bahwa selama beberapa tahun terakhir ini sudah terjadi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia yang konon mulai diakui oleh negara lain. Sikap menteri kita ini memang tidak aneh bagi kalangan petinggi negeri ini. Sejak zaman Orba selalu di dengung-dengungkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan dalam segala bidang begitu hebat. Bahkan disebut sebut pada masa sebelum datangnya krisis moneter->ekonomi yang bermula pada bulan Juli 1997 Indonesia sudah menjadi salah satu ?Macan Asia?. Kebiasaan untuk tidak mau mengakui bahwa bangsa lain berbuat lebih baik dari bangsa sendiri kita jumpai dalam penataran P4 kepada murid sekolah sejak SMP sampai kepada tingkat perguruan tinggi ?ditabukan? untuk membuat perbandingan dengan keberhasilan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain. Kita kemudia terkejut dan hampir kehilangan kepercayaan diri ketika krisis menerpa kita dan akibatnya begitu sangat parah dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Asia Timur. Pemerintahan Suharto yang terbelenggu oleh semangat KKN nyaris kehilangan akal sehatnya dan tidak mampu untuk segera mengambil tindakan yang fundamental. Akibatnya krisis mencapai tahapan yang begitu dalam dan akhirnya ?agak dapat direm? setelah terpaksa meminta bantuan IMF. Proses penyelamatan ekonomi menjadi begitu menyakitkan dan memerlukan waktu yang jauh lebih lama. Disamping itu biayanya yang membengkak telah menjadi utang bangsa yang konon baru akan lunas 49 tahun yang akan dating. Itupun dengan catatan tidak membuat utang baru. Akibat krisis multidimensional kepada kehidupan masyarakat termasuk angka putus sekolah yang tinggi sehingga menjadi awan kelabu bagi perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia.

Dalam menanggapi ketidak setujuan Mendiknas agar kondisi yang tidak membanggakan dari pendidikan Indonesia untuk dibesar besarkan oleh media massa memang bangsa Indonesia harus berani meninggalkan paradigma lama yang konon berasal dari ungkapan lama 😕 Jangan membuka aib sendiri! Tanpa berani mengakui bahwa kita punya aib maka sudah barang tentu kita tak akan sadar untuk memperbaiki diri dan berbuat baik. Justru upaya untuk bekerja lebih keras dan lebih cerdas untuk menjadi lebih baik itulah yang akan menutup aib kita. Bukan dengan menutup ?tutupinya dengan segala kebohongan yang berujung dengan pengamalan ungkapan lama yang lain : ? buruk muka cermin dibelah!? alias diluar sana selalu tersedia ?kambing? hitam yang siap ?dikorbankan?. Oleh : Tjuk K Sukiadi

Related posts

TKI – MENJUAL KEBODOHAN DAN MARTABAT BANGSA

bk3s

PENYAKIT DEGENERATIF (Kanker Semakin Mengancam)

bk3s

SAFARI GEMPITA MUTIARA BANGSA

bk3s
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?