BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita Tokoh

Ibu Sabardiman Atmo Diwiryo

Pada saat pecah perang kemerdekaan 1945 ? 1950 ia bergabung sebagai relawan pada Palang merah Indonesia. Ketika terjadi pertempuran 10 November, semua perempuan pergi menjauhi pertempuran. Ia dimarahi kakaknya karena tidak mau diajak pergi menyingkir.Pikirnya kalau semua pergi, siapa yang menolong para pejuang dan rakyat korban perang.

Ibu Sabardiman Atmo Diwiryo

Relawan dalam perang 10 November 1945 Surabaya

Ditemui di rumahnya di Jl. Darmokali, bu Sabardiman masih belanja di supermarket BILKA. Redaksi warta sosial menunggu, tiada lama muncul dari dalam seorang wanita lansia bersahaja, berbaju muslim mempersilahkan masuk ke ruang tamu, sambil bertanya ?Sudah Sholat?? ?Sudah Bu !?, memang saat itu waktu sholat dhuhur ?Ayo silahkan duduk !?.

Didampingi putra mantunya, wanita lansia ramah yang mulai bertanya maksud kunjungan redaksi. Dengan suaranya yang masih lantang dan jelas menceritakan tentang dirinya. Umurnya sudah 84 tahun, lahir 30 Agustus 1926. Dia adalah bungsu dari 12 orang bersaudara, dari seorang ayah dan seorang ibu yang keduanya berwirausaha. Masa anak-anak menjelang dewasa hidup di kampung Kedondong. Orang tuanya kaya, rumahnya ?gedung? punya mobil dan punya kereta kuda, sambil menunjukkan foto-fotonya tempo dulu. Ayahnya menyewakan gamelan, wayang kulit, terop dan jual tanaman, sedangkan ibunya punya usaha rias manten dan catering. Ia sendiri dan anaknya perempuan melanjutkan usaha Ibunya.

Ia dimasukan sekolah oleh orangtuanya ke HIS (Sekolah Dasar 7 tahun) pada masa penjajahan Belanda. Setelah lulus HIS, ia masuk OVVO (Sekolah Guru 2 tahun). Ayahnya melarang buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh nantinya juga akan berada di dapur. Tapi ia berkeras ingin terus sekolah. Hal ini akibat pergaulannya dengan teman-teman sekolah di HIS yang pada melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. ?Kalau sekolah tidak lanjut, nanti bodoh? cetusnya. ?Kalau orang Indonesia bodoh semua, tidak ada yang berjuang. Kalau perempuan bisa berjuang, ya berjuang? keluhnya.

Setelah lulus sekolah guru, ia mengajar di sekolah swasta TK dan SD Puteri Budi Sejati di Kedungsari. Pesan ayahnya tidak usah kerja dengan Belanda. Bapaknya dan Ibunya usaha mandiri, tinggal di kampung, tidak dipinggir jalan, menjauhi Belanda.

Pada saat pecah perang kemerdekaan 1945 ? 1950 ia bergabung sebagai relawan pada Palang merah Indonesia. Ketika terjadi pertempuran 10 November, semua perempuan pergi menjauhi pertempuran. Ia dimarahi kakaknya karena tidak mau diajak pergi menyingkir. Pikirnya kalau semua pergi, siapa yang menolong para pejuang dan rakyat korban perang.

Bersama teman-teman PMI, ia sempat menolong soerang ibu yang menggendong bayinya yang ususnya terburai keluar dan seorang laki-laki yang menyewa dirumahnya, ia akan mengkhitankan anaknya, kepalanya terluka parah. Ia juga pernah menolong pejuang-pejuang pemuda yang berlumuran darah.

Selama bertugas seperti itu ia tidak merasa jijik dan tidak pula ada pikiran apa yang akan ia dapatkan, selain ikhlas menolong orang. Sebagai anak orang kaya ia tidak mengingat ? ingat hartanya yang ditinggal di rumah. Kemana-mana ia hanya membawa kunci brankas ibunya, harta itu titipan Allah SWT.

Ketika pertama pecah perang, ibunya tidak mengungsi jauh-jauh, ia mnegungsi di kuburan Mbah Kudo kedondong. Ibunya berfikir tidak mungkin Belanda/Sekutu memeriksa kuburan. Betul juga, pada suatu malam ada patroli Belanda ke kampung Kedondong, tapi tidak nyasar sampai ke kuburan. Saat perang makin berkecambuk, pasukan pejuang mundur ke Mojokerto dan ibunya lagi-lagi mengungsi dan masuk gedung setan yang tidak dimasuki orang lain. Aman juga ibu saya disitu, Ibu Sudjinah sendiri bertugas di Rumah Sakit Gatul Mojokerto. Di rumah sakit itu ia banyak ikut membantu korban peperangan.

Setelah perang reda, para pengungsi pulang ke Surabaya, Ibu Sudjinah mengantarkan ibunya pulang ke Surabaya, ia tidak membawa berkas apapun, karena takut digeledah tentara Belanda/Sekutu. ?Yang memeriksa saya itu orang Jawa, kok mau diperbudak penjajah ya !? komentarnya.

Satu tahun setelah penyerahan kedaulatan, yakni mulai tahun 1951 ia mendirikan sekolah TK dan SD di rumah orang tuanya di kampung Kedondong. Muridnya cukup banyak. ?Setiap akhir pekan saya ajak renang murid-murid saya beserta orang tuanya?, kenangnya.

Sejak tahun 1965, bersama suaminya karyawan perkebunan, Ibu Sudjinah pindah rumah bersama 8orang anaknya, 2 anak laki-laki dan 6 orang anak perempuan ke Jl. Darmokali Surabaya, ?Saya diolok-olok saudara-saudara saya, kenapa mau pindah rumah, rumah milik sendiri di kedomdong ditinggal?, ujarnya. Sedang rumah di Jl. Darmo belum jadi miliknya.

Tahun 1984 suaminya tercinta meninggal dunia. Waktu Pemerintah menyatakan rumah tersebut dapat dibeli, ia binggung dari mana uangnya. Sepulang dari haji, ia menghubungi menantunya yang menjadi Duta Besar di Mexico dan sekarang Duta Besar di Tunisia, untuk menyelesaikannya sehingga rumah itu menjadi miliknya.

Untuk merangsang ingatannya, redaksi menanyakan tokoh-tokoh perang 10 November. Tersebutlah nama-nama pejuang Ruslan Abdul Ghani, drg. Moestopo, Doel Arnowo yang kemudian menjadi Walikota Surabaya serta yang membangun Tugu Pahlawan.

Pada akhir pembicaraan Bu Sudjinah menutupnya dengan kata-kata bahwa ia tidak menganggur, sekarang ini tetap memasak, menjahit baju, dan lain-lain. Dalam hidup itu kita harus kerja keras, jujur, suka menolong, banyak bersodaqoh tanpa pamrih pasti Allah SWT menambahi pesannya. (MS, AS)

Related posts

Perempuan Harus Jadi Dirimu Sendiri

admin01

SAFARI KEHIDUPAN KELUARGA PENYANDANG CACAT

bk3s

Peringatan Hari Internasional Penyandang Cacat (HIPENCA) Tahun 2011

admin01
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?