BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita

MEMAKNAI KEMBALI KEBANGKITAN NASIONAL

Prakata : Persatuan Indonesia itu adalah hasil perjuangan semua unsur bangsa tanpa kecuali. Tentu ada yang sumbangsihnya besar dan ada yang kecil, ada yang strategis dan ada yang tidak. Tetapi semua harus kita hargai, tidak boleh ada yang dilupakan. Kita tidak perlu lagi berdebat tentang tanggal mana yang lebih tepat dijadikan hari kebangkitan nasional, pihak mana yang paling besar perannya.

MEMAKNAI KEMBALI KEBANGKITAN NASIONAL

Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng

Puluhan juta manusia yang hidup di wilayah yang nantinya bernama Indonesia telah merasakan penderitaandibawah penjajahan Belanda dalam waktu yang amat lama, ratusan tahun. Wajar kalau mereka ingin mendapat kemerdekaan untuk mengakhirinya. Pada akhir abad ke 19 mulai muncul kesadaran bahwa tanpa persatuan dari seluruh warga di Nusantara itu, tidak mungkin akan diperoleh kemerdekaan dari penjajahan Belanda itu.

Secara historis, Persatuan Indonesia tumbuh dari dalam diri rakyat yang hidup di seluruh wilayah yang kita sebut sebagai Nusantara, atas dasar kehendak sendiri. Pada akhir abad 19, sejumlah pemuda Nusantara yang belajar di Mekkah antara lain KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari menyadari bahwa banyak rekan mereka di seluruh Nusantara punya kehendak yang sama, yaitu bebas dari penjajahan Belanda. Mereka berikrar di depan Multazam untuk bersama-sama memperjuangkan tujuan mulia itu, kalau mereka pulang kembali ke tempat mereka berasal.

Di Jawa, para pemuda membentuk Boedi Utomo, yang hari kelahirannya dijadikan Harkitnas. Sebelumnya, Sarikat Islam juga sudah mencetuskan gagasan kebangsaan. Di Belanda, menurut Prof Sartono, pemuda-pemuda yang tergabung didalam Perhimpunan Indonesia, antara lain Bung Hatta, sudah menggunakan nama Indonesia tidak hanya dalam konsep geografis dan antropologis saja, tetapi dalam konsep politik. Mereka juga sudah menuntut Indonesia merdeka Para pemuda dari berbagai daerah diseluruh Nusantara menghadiri Kongres Pemuda ke II tahun 1928 yang temanya adalah persatuan Indonesia. Mereka berhasil merumuskan dan mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang dapat kita anggap sebagai hari kelahiran bangsa Indonesia.

Persatuan Indonesia itu adalah hasil perjuangan semua unsur bangsa tanpa kecuali. Tentu ada yang sumbangsihnya besar dan ada yang kecil, ada yang strategis dan ada yang tidak. Tetapi semua harus kita hargai, tidak boleh ada yang dilupakan. Kita tidak perlu lagi berdebat tentang tanggal mana yang lebih tepat dijadikan hari kebangkitan nasional, pihak mana yang paling besar perannya.

Kita melihat fakta bahwa persatuan bangsa kita sejak kebangkitan nasional pada awal abad 20 meningkat dengan kuat sampai lahirnya Sumpah Pemuda yang akhirnya bermuara pada lahirnya negara Republik Indonesia. Walaupun RI terpaksa berubah menjadi negara bagian dari RIS, dalam waktu singkat kembali menjadi negara RI pada tahun 1950. Bung Karno dan Bung Hatta serta para pemimpin bangsa lainnya berjuang tanpa jemu untuk menanamkan kesadaran berbangsa kedalam diri rakyat Indonesia. Fakta itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat, lebih kuat daripada negara Republik Indonesia. Sampai tahun 1980-an bangsa dan negara Indonesia menjadi panutan bagi banyak bangsa di Asia dan Afrika.

Pemerintahan Orde Baru membuat negara Indonesia lebih kuat dari pada bangsa Indonesia. Maka bangsa Indonesia secara perlahan tetapi pasti, menjadi bangsa yang lemah. Negara yang semula kuat, karena wataknya yang otoritarian akhirnya mengikuti jejak banyak negara otoritarian yang telah bertumbangan akibat tidak bisa menghambat proses demokratisasi. Tahun 1998 negara Indonesia mencapai titik nadir dan belum mampu bangkit kembali. Kini bangsa dan negara Indonesia keduanya lemah.

Kini saat kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, banyak pihak yang mengumandangkan suara untuk memanfaatkan momentum itu guna mencetuskan kebangkitan nasional kedua. Gagasan itu kurang tepat kalau kita tidak mampu memaknai kebangkitan nasional itu dengan tepat, secara substansial tidak hanya sekedar seremonial.

Budaya Indonesia

Pada dasawarsa ketiga muncul polemik tentang kebudayaan Indonesia, apakah merupakan integrasi budaya daerah atau merupakan budaya baru yang lebih berorientasi ke Barat. Apakah harus meninggalkan budaya dan sikap dasarnya yang mengejar harmoni dan bersifat kolektif atau mengambil sikap mengikuti Barat yang sikap dasarnya adalah menaklukkan dan bersifat individualistis.

Penganjur untuk mengikuti Barat meyakini bahwa Indonesia tidak akan mencapai kesejahteraan seperti yang diperoleh dunia Barat selama manusia Indonesia tidak mengambil sikap seperti manusia Barat. Kata mereka, teknologi dan ilmu pengetahuan adalah jalan mewujudkan kesejahteraan. Penguasaan ilmu dan teknologi harus dilandasi sikap dinamis yang tidak akan tercapai dengan sikap harmoni.

Ternyata tidak harus begitu sikap kita. Jepang adalah bangsa dan negara yang layak kita teladani. Sejak 1853 bangsa Jepang sudah sadar bahwa Jepang harus berjuang menguasai iptek dan mengirim putra-putra bangsa Jepang belajar ke Eropa. Jepang berhasil mengejar bangsa-bangsa di Eropa tanpa harus kehilangan jati diri mereka yang berdasarkan harmoni.

Salah satu aspek kehidupan yang amat penting bagi bangsa Indonesia adalah agama. Cukup banyak dan cukup lama terjadi perdebatan apakah agama adalah bagian dari budaya? Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa agama langit (samawi) bukan bagian dari budaya, tetapi kehidupan beragama adalah bagian dari budaya dan terpengaruh oleh serta mempengaruhi budaya.

Agama dapat menjadi faktor positif tetapi juga bisa menjadi faktor negatif dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa. Agama bisa menjadi faktor pemersatu tetapi juga faktor pemecah suatu masyarakat. Karena itu dibutuhkan suatu sikap beragama yang toleran dan tidak ekstrim. Sikap beragama yang menghargai perbedaan dan tidak menghakimi.

Kita harus berani mengakui bahwa agama di Indonesia belum berhasil menumbuhkan sikap positif dan moral berdasar etika didalam masyarakat. Keadilan dan kejujuran yang menjadi salah satu nilai utama didalam agama Islam belum berhasil diterapkan didalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia. Rasa saling percaya dan rasa menghargai hak orang lain belum menjadi sesuatu yang dijadikan pegangan didalam kehidupan. Ibadah terhadap Allah belum berhasil mengubah perilaku masyarakat, yang sesungguhnya juga merupakan ibadah, apabila diniati untuk mendapat ridho Allah.

Pengalaman beberapa anak bangsa yang belajar di Jepang menunjukkan bahwa negara yang tidak pernah terdengar bertepuk dada sebagai negara religius/negara beragama ternyata menunjukkan diri sebagai masyarakat yang menerapkan nilai agama dibanding Indonesia yang kerap menepuk dada sebagai negara beragama tetapi masyarakatnya berperilaku yang jauh dari nilai agama. Keadilan, kejujuran, amanah, saling percaya, saling menolong, bersyukur, hemat, dan nilai-nilai lain yang dianjurkan Islam dan agama lain ternyata tidak terwujud didalam kehidupan masyarakat, sehingga modal osisal kita makin hari makin menipis.

Menurut Fukuyama, selain SDM yang bermutu, elemen pokok dari modal sosial adalah kuatnya sifat dan sikap untuk saling percaya dan bisa dipercaya, baik dalam bentuk hubungan vertikal maupun horizontal. Menurutnya, sebuah masyarakat atau bangsa yang tidak memiliki sifat dan sikap trust satu sama lain akan sulit mengembangkan jaringan ekonomi dan birokrasi politik yang sehat, efisisen dan tahan lama, karena tidak ada kekuatan yang saling menghubungkan dan menyangganya.

Budaya membaca yang amat penting kalau suatu bangsa ingin maju, ternyata masih belum menjadi se suatu yang lazim kita jumpai di Indonesia. Kalau kita lihat di banyak kota di negara yang sudah maju, banyak sekali orang yang menunggu kereta api, bis dan pesawat terbang sambil membaca buku. Atau saat orang bepergian didalam bis, kereta api. Jumlah judul buku baru yang terbit di Indonesia tidak sampai 5.000 judul per tahun. Sebagai perbandingan, di Malaysia jumlah itu sudah mencapai 15,000 judul/tahun. Di Inggeris angka itu jauh lebih tinggi, mencapai 100.000 judul buku/tahun.

Mereka yang gemar membaca buku akan mempunyai pengetahuan dan wawasan lebih luas serta lebih kreatif. Kemiskinan dan kebodohan adalah saudara kembar, entah mana yang lebih dulu lahir. Yang suka membaca belum tentu suka menulis. Yang tidak suka membaca, pasti tidak suka membaca. Padahal menulis diperlukan supaya kita lebih mudah mengemukakan gagasan. Didalam semua sekolah, kecuali amat sedikit pengecualian, tidak ada pelajaran menulis. Akan baik sekali apabila siswa sejak dini dibiasakan membaca satu buku seminggu, lalu menulis ringkasan tentang apa yang dibacanya disertai komentar atau tanggapan.

Membiasakan membaca buku secara teratur lalu menuliskan ringkasan dan komentar tentang apa yang dibaca, juga merupakan suatu upaya menghargai dan menjaga bahasa Indonesia. Kita tidak pernah menyadari betapa berharganya bahasa Indonesia dan betapa sedikitnya perhatian kita terhadapnya. Kita harus mengakui bahwa ternyata kita tidak mampu memelihara dan merawat salah satu warisan budaya terbesar dari para pendiri bangsa.

Salah satu tolok ukur untuk membedakan bangsa dan negara maju dengan yang tidak adalah budaya bangsa dan negara itu yang berkaitan dengan waktu, yaitu kesadaran akan waktu dan penghargaan terhadap waktu. Waktu yang diberikan oleh Tuhan kepada semua orang, adalah sama yaitu 24 jam perhari, 168 jam per minggu, 8.760 jam per tahun, tidak peduli apa warna kulitnya, apa agamanya, apa bangsanya.
Terserah kepada kita untuk apa waktu itu mau kita gunakan dan bagaimana menggunakannya. Disini kita bicara tentang produktifitas yang dapat diukur. Tenaga kerja kita di sejumlah sektor usaha, tidak menunjukkan produktifitas yang memadai dibanding rekan mereka dari berbagai negara. Waktu bongkar-muat kapal di pelabuhan Indonesia, jauh lebih lama dibanding di pelabuhan negara lain. Waktu pengurusan berbagai perijinan di Indonesia juga jauh lebih lama dibanding di sejumlah negara .

Contoh lain ialah prosentase mahasiwa yang lulus tepat waktu (8 semester) pada tahun ajaran 2006-2007 di ITS adalah 44%, di Universitas Hasanuddin = 21,42% dan di Universitas Gajah Mada = 51%. Padahal di sejumlah negara seperti Malaysia dan Inggeris, bachelor yang setara dengan S 1, diselesaikan dalam 6 semester. Bisa dibayangkan betapa luar biasa pemborosan yang kita lakukan. Di Jakarta, lalu lintas yang sering sekali macet makin menambah pemborosan itu. Kerugian yang ditimbulkan kemacetan itu amat besar dan sama sekali tidak terlihat ada upaya berarti untuk mencari pemecahan. Dan tampaknya kita juga tidak terlalu hirau dengan masalah itu.

Pembagian zona waktu di Indonesia (WIB, WITa dan WIT) membuat kita kehilangan waktu yang berharga selama berpuluh tahun. Pengusaha di Merauke kehilangan waktu dua jam dan di Makassar kehilangan waktu satu jam sebelum bisa bertransaksi dengan mitra usaha di Jakarta dan sudah tutup saat mitra mereka masih aktif di Jakarta. Kerugian amat besar itu telah berjalan selama puluhan tahun. Jakartapun ketinggalan satu jam dibanding Singapore dan Kuala Lumpur. China yang memiliki rentang wilayah 60 derajat garis bujur (lebih lebar daripada Indonesia), menggunakan satu wilayah waktu sejak 1949. Di Indonesia, pembagian wilayah waktu ditetapkan sejak 1950 yang membagi Indonesia menjadi enam wilayah waktu. Sejak Irian Barat menjadi wilayah RI, maka kita perlu mempunyai tiga wilayah waktu yang sudah kita pergunakan sejak 1963. Tampaknya kita perlu menyamakan waktu menjadi satu wilayah waktu dan disamakan dengan Singapore dan KL. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa menyederhanakan wilayah waktu ternyata berhasil menghemat energi.

Nasionalisme Mengikuti Zaman

Menurut Benedict Anderson, nasion atau bangsa adalah hasil dari imajinasi orang-orang yang membayangkan mereka berada dalam satu negara dan merasakan persamaan nasib serta mitos tentang masa lampau bersama yang jaya. Rasa kebangsaan atau Nasionalisme berkembang dengan adanya langkah penyebaran kesadaran nasionalisme atau kebangsaan itu.

Nasionalisme mengalami proses sesuai dengan perkembangan zaman termasuk juga pengaruh internasional. Setiap generasi mempunyai pandangan sendiri mengenai nsionalisme dan mengenai Indonesia. Secara populer dapat kita katakan bahwa nasionalisme dalam pandangan kakek (angkatan 45) berbeda dengan nasionalisme menurut cucunya (angkatan 98).

Jangan terkejut kalau banyak anak muda saat ini berkata : “Hari gene ngomong nasionalisme”. Bukannya bukan mereka tidak punya nasionalisme, tetapi nasionalismenya memang berbeda dengan nasionalisme generasi tua. Nasionalisme banal (kibarkan bendera, lagu kebangsaan, hafal Pancasila) sudah tidak begitu populer dimata mereka. Nasionalisme bagi anak muda yang peduli terhadap masa depan bangsa dan negara berarti memperhatikan hak dasar rakyat, bekerja keras, anti korupsi dan menjaga lingkungan.

Dengan bergabungnya Indonesia dalam sistem global internasional, tentu terjadi perdebatan menarik tentang nasionalisme. Satu pihak masih menggunakan definisi nasionalisme yang hanya menekankan pada aspek anti asing. Tetapi bagi pihak lain definisi ini sudah dianggap sempit dan tidak sesuai tuntutan zaman. Pihak pertama yang mendukung nasionalisme ekonomi menuduh kalangan yang meliberalkan ekonomi Indonesia dan menjual BUMN strategis (Indosat, BCA) kepada pihak LN, sebagai tidak punya nasionalisme dan akan membuat Indonesia di dominasi asing. Bagian demi bagian dari negeri ini akan menjadi milik asing. Kita akan menjadi kuli di negeri sendiri dan harga diri kita akan terinjak-injak.

Sementara itu kalangan lain, terutama para ahli ekonomi yang mengelola kebijakan ekonomi pemerintah SBY, adalah mereka yang memandang liberalisasi ekonomi Indonesia adalah bagian tidak terelakkan dari globalisasi ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan nasionalisme dalam pengertian pihak pertama. Bagi mereka, Indonesia harus menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar internasional dan harus siap bersaing menghadapinya.

Beberapa dasawarsa lalu, Robert Packingham menyatakan bahwa : “The more a nation’s economy is penetrated by loans, investment, aid, and reliance on external trade, the more dependent the nation is”. Solusi radikal yang ditawarkan yaitu pemutusan mata rantai ekonomi domestik terhadap sistem kapitalisme global, misalnya, jelas lebih banyak mudarratnya dari pada manfaatnya. China, Korsel, Taiwan dan India mampu melakukan percepatan dalam pertumbuhan ekonomi, bukan dengan menutup diri atau memutuskan kontak dengan dunia luar, tetapi dengan strategi industrialisasi berorientasi keluar dengan penguatan ekonomi domestik yang disertai dengan pemanfaatan peluang-peluang yang ada di pasar global. Sebaliknya, negara-negara komunis di Eropa Timur yang menutup diri dari ekonomi global dan secara ekstrim mengabaikan mekanisme pasar, justru ambruk pada akhir 1980-an.

Seorang ahli ekonomi Dudley Seers (1981) mengatakan bahwa ketergantungan ekonomi tidak dengan sendirinya menutup ruang bagi negara untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Yang harus dipastikan ialah terjaganya otonomi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan guna meletakkan fondasi ekonomi nasional yang tangguh dan tahan uji. Ketergantungan pada utang dan modal asing harus diimbangi dengan kemampuan memperkokoh, memperdalam dan mengintegrasikan struktur ekonomi dan industri bangsa kita. Indonesia harus dapat mengubah tantangan dalam sistem ekonomi kapitalisme global menjadi peluang yang dimanfaatkan secara realistis dan kreatif sehingga kita tidak terus menerus menjadi negara yang tidak berdaya didalam kancah persaingan antar bangsa. Harus diupayakan suatu strategi pembangunan yang secara sistematis dapat menggeser keunggulan komparatif Indonesia dari tenaga kerja murah dan SDA menuju kepada sebuah ekonomi yang didominasi oleh SDM yang trampil dan profesional, produksi manufaktur yang berdaya saing tinggi.

Tidak mungkin bagi Indonesia mengikuti solusi menutup diri, tetapi sebaliknya juga tidak mudah bagi Indonesia untuk meniru apa yang dilakukan Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, China dll. Negara-negara itu melakukan liberalisasi ekonomi saat struktur ekonomi dan industri mereka sudah cukup kuat. Selain itu mereka juga sudah mempunyai kelas menengah (industriawan dan profesional) yang mampu menjadi tulang punggung eko nomi bangsa. Saat ekonomi mengalami krisis, kelas menengah itu menjadi pihak yang menopang daya tahan ekonomi negara-negara itu. Di Indonesia, saat mengalami krisis, yang menjadi penyelamat adalah sektor informal, yang selama puluhan tahun sebelum krisis praktis diabaikan oleh pemerintah. Ironisnya, setelah krisis berlalu, kembali sektor informal itu diabaikan oleh Pemerintah.

Pancasila Perlu Diterapkan

Dari segi ideologi hampir tidak ada yang menjadi ancaman bagi persatuan Indonesia. Pancasila sudah diterima oleh hampir semua rakyat Indonesia, tetapi Pancasila itu hanya sebatas ucapan saja dan tidak diterapkan dalam kenyataan hidup didalam masyarakat. Tidak heran bila masyarakat tidak terlalu peduli lagi terhadap Pancasila. Yang menjadi ancaman bagi persatuan Indonesia saat ini adalah perasaan tidak banyak gunanya menjadi warga bangsa Indonesia, karena negara yang menjadi perwujudan nyata dari bangsa tidak mampu menjaga dan melindungi hak-hak dasar rakyat. Aturannya sudah ada didalam pasal 28 UUD, tetapi didalam kenyataan tidak ada.

Prasangka suku boleh dikatakan sudah amat berkurang. Perkawinan antar suku sudah menjadi hal yang amat wajar. Tetapi prasangka etnis (khususnya terhadap Tionghoa) masih cukup tinggi. Prasangka agama meningkat setelah Orde Baru tumbang, bahkan juga prasangka antar kelompok dalam satu agama. Orang yang menghasut untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah dibiarkan saja, tidak diapa-apakan. Polisi juga tidak melindungi warga dengan semestinya. Jelas apa yang terjadi itu mengancam persatuan Indonesia. Menyikapi gejala yang amat tidak sehat itu, sejumlah tokoh masyarakat memasang iklan berjudul MARI PERTAHANKAN INDONESIA KITA. Alih-alih menyelesaikan masalah, iklan itu justru memunculkan masalah baru, dianggap sebagai provokasi.

Yang paling parah ialah penyerbuan oleh anggota FPI terhadap anggota AKKBB pada hari lahir Pancasila. Atas nama agama Islam , mereka melakukan tindakan yang justru tidak Islami. Negara kembali tidak berdaya melindungi warganya dari intimidasi dan tindakan anarkis. Kita menunggu tindakan tegas dari petinggi negara, bukan hanya pernyataan yang bernada mengecam.

Tindakan kekerasan antar kelompok didalam masyarakat maupun masyarakat dengan negara adalah cerminan kuatnya egoisme kelompok didalam masyarakat yang telah kehilangan perekat sosialnya. Kohesi sosial di Indonesia kini dibatasi oleh berbagai sekat dan ruang atas nama ekonomi, politik, budaya dan agama. Negara tampaknya tidak mampu menciptakan ruang dialog antar warga dan kelompok masyarakat.
Sebuah jajak-pendapat mengemukakakan bahwa penyebab perpecahan bangsa yang paling utama ialah perbedaan kaya dan miskin (47,1%), pertikaian antar pendukung parpol (22,6%), pertikaian antar agama (15,7%). Sejalan dengan hasil jajak-pendapat itu, meningkatnya perbedaan kaya miskin tidak lepas dari kebijakan pemerintah. Kebijakan menaikkan harga BBM, tarif air dan listrik, yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, juga tidak mendukung kohesi sosial.

Persatuan Indonesia juga mengalami penurunan dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akar masalah terletak pada kurangnya kemampuan pemerintah pusat mengatur hubungan yang serasi dan saling menguntungkan dengan pemerintah daerah. Tercermin adanya gugatan daerah terhadap konsep Persatuan Indonesia dalam bingkai negara kesatuan. Karena adanya otonomi khusus di Papua dan Aceh, beberapa propinsi lain juga menginginkan otonomi khusus seperti Riau, Bali dan sejumlah propinsi kaya. Jika hampir semua propinsi menuntut otonomi khusus, maka konsep negara kesatuan akan menghadapi masalah besar. Untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah diatas, dibutuhkan adanya ruang dialog yang terbuka. Rasa saling percaya antar kelompok masyarakat dan dengan negara, hanya dapat tumbuh jika ruang komunikasi yang mampu menghasilkan sinergi. Pemerintah harus menyadari hal itu dan mengambil prakarsa untuk membukanya.

Salah satu yang menjadi ancaman persatuan Indonesia ialah penyelenggaraan negara di pusat maupun daerah. Alih-alih menjadi pelindung rakyat, sering kali mereka justru menjadi pihak yang merugikan masyarakat. Para pedagang tradisional di DKI banyak yang mengatakan bahwa mereka bukannya dibina oleh aparat pemda, tetapi merasa dibinasakan. Puluhan ribu pedagang harus kehilangan pekerjaan akibat kebijakan kepala daerah yang memihak para pengembang dengan menyetujui harga jual kios yang bisa mencapai puluhan kali biaya pembangunan.

Alih-alih dilindungi, buruh migran yang mendatangkan devisa juga menjadi sasaran pemerasan pada waktu datang di bandara. Ketika mereka mendapat masalah di negara mereka mengadu untung, tidak banyak yang dilakukan para birokrat kita disana. Para pencari keadilan harus menjadi pembeli keadilan karena memperoleh kenyataan bahwa hukum ditentukan oleh kekuasaan uang.

Transformasi Bangsa Indonesia

Buku “Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030” diluncurkan oleh Yayasan Indonesia Forum. Visi itu ditopang empat capaian utama, yaitu pendapatan/kapita (2030) mencapai USD 18.000, pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan, perwujudan kualitas hidup modern yang merata dan mengantarkan sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk daftar Fortune 500. Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima didunia.

Diharapkan dalam proses industrialisasi, Indonesia bisa menjadi negara berpenghasilan besar. Untuk mewujudkan Visi itu, realisasi pertumbuhan ekonomi riel rata-rata diasumsikan mencapai 7,62%, laju inflasi 4,95%, pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12%/tahun. Dijelaskan bahwa Visi Indonesia 2030 punya arti strategis ditengah pesimisme menyongsong Indonesia masa depan dan erosi kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.

Menurut Presiden SBY Visi 2030 itu bisa saja dianggap mimpi, tetapi jangan malu dengan mimpi itu. Sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menciptakan mimpi dan mampu mewujudkannya. Saya pernah membaca forecast yang lebih optimis oleh sebuah lembaga kajian di Amerika Serikat, bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi kelima pada 2020. Tentu perlu perjuangan keras untuk mampu mewujudkan impian itu, melalui suatu transformasi bangsa Indonesia.

Beberapa catatan diatas dalam makalah ini menunjukkan kira-kira kearah mana transformasi itu dilakukan. Kuncinya adalah pendidikan. Maka dapat dikatakan bahwa prioritas pertama bagi kita adalah pendidikan, prioritas kedua adalah pendidikan dan prioritas ketiga adalah pendidikan. Menurut Sir Ken Robinson, pendidikan yang tepat pada abad informasi adalah pendidikan yang menumbuhkan dan mengembangkan kreatifitas. Hanya manusia kreatif yang yang mampu bertahan dalam kehidupan yang penuh perubahan cepat multi-dimensional yang dibawaserta oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kita harus berani mengakui bahwa kita telah gagal dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak bangsa. Pendidikan telah membuat sumber daya manusia menjadi sumber manusia tidak berdaya, tidak menciptakan assets tetapi menciptakan liability. Manusia Indonesia yang jumlahnya puluhan juta saat ini justru menjadi beban bagi bangsa. Kekayaan kita yang sesungguhnya adalah manusia. Kalau tigapuluh sampai limapuluh tahun lagi SDA kita sudah amat menipis, maka kita hanya bisa mengandalkan manusia Indonesia.

Pendidikan tidak hanya mengajarkan atau transfer ilmu saja, tetapi juga mencakup ranah afektif dan psiko motorik, yang menggali dan mengasah kecerdasan majemuk yang ada didalam diri anak bangsa. Pendidikan yang utuh harus juga mendidik karakter anak didik. Pendidikan karakter tidak hanya sekedar memiliki sifat integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, tetapi juga memiliki sifat kuratif secara personal dan sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu penyembuh penyakit sosial dan menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat kita.

Pendidikan karakter tampak secara perlahan tapi pasti, semakin hilang dan tampaknya kurang mendapat perhatian serius dari kalangan pendidik. Para guru Indonesia tampaknya terlalu banyak dibebani tugas administrasi dan jam mengajar, yang membuat mereka sudah kehabisan tenaga dan waktu sehingga tidak sempat memikirkan pendidikan karakter bagi anak didik mereka. Apalagi guru swasta yang tingkat kesejahteraannya tidak memadai. Mereka disibukkan oleh usaha memenuhi kebutuhan hidup.

Pendidikan harus ditingkatkan mutunya secara merata, tetapi faktanya jauh dari harapan. Para guru di sebuah kecamatan di Sumatera Utara yang ditangkap karena membantu supaya muridnya lulus dalam UAN, mengatakan bahwa tidak adil memberi soal ujian yang sama untuk murid disana dengan di Jakarta, karena mutu pendidikan disana jauh dibawah Jakarta. Kalau para murid banyak yang tidak lulus, maka konduite guru akan terganggu. Hal itu juga berlaku untuk daerah lain di luar Jawa, khususnya di pedalaman.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, langkah pertama ialah meningkatkan mutu guru secara merata di seluruh Indonesia, yang dapat dilakukan dengan pelatihan guru, baik PNS maupun guru swasta. Setelah mutu guru meningkat, kesejahteraan guru termasuk guru swasta harus ditingkatkan. Pendidikan gratis sampai tingkat SMA harus dilaksanakan. Tentu semua kebijakan itu membutuhkan dana yang amat besar. Alokasi anggaran pendidikandidalam APBN harus ditingkatkan, kalau perlu diatas 20%. Penggunaan anggaran itu harus efektif dan efisien. Efektif artinya harus tepat sasaran, programnya harus benar. Efisien artinya harus memerangi korupsi didalam instansi pemerintah pengelola pendidikan di beberapa departemen.

Tanpa pendidikan yang baik dan merata secara nasional, kita akan menghasilkan manusia gagal yang akan membuat kita menjadi negara gagal. Pendidikan adalah prioritas pertama, prioritas kedua dan prioritas ketiga bangsa kita. Kita tidak punya banyak waktu untuk melakukannya, karena itu harus segera dilakukan. Hanya dengan memberi perhatian kepadsa pendidikan sajalah kita mampu memaknai kebangkitan nasional. Tanpa itu, seremoni kebangkitan nasional akan tetap hanya sebagai seremoni, tanpa makna dan tanpa substansi.

Tebuireng, 13 Juni 2008.

Related posts

Bantuan Sosial Permakanan & peningkatan Gizi Lansia Warga Tenggilis Mejoyo

admin01

KARAKTER DAN PERAN PEREMPUAN INDONESIA

bk3s

Smart Side Of Surabaya 17 Agustus – an

admin01
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?