BK3S || BK3S JATIM || BKKKS || BKKKS JATIM || SOSIAL
Berita Dari Anda Sorotan

Psyche Indonesia Dan Kasus Mencontek Massal

Baru-baru ini, Surabaya dihebohkan dengan kasus mencontek massal yang pertama kali dilaporkan melalui sebuah radio komunitas terkenal di Surabaya. Kasus ini bermula dari laporan seorang ibu yang mendapati bahwa anaknya tertekan karena menjadi sumber contekan massal di sekolahnya. Sang anak merasa bahwa ia mengkhianati pendidikan ?jujur? yang selama ini telah diajarkan.

Psyche Indonesia Dan Kasus Mencontek Massal

Julia Suryakusuma (1) pernah mengandaikan dalam salah satu esainya, ?SOS! Psyche in Crisis!?, keadaan psyche masyarakat Indonesia dengan psyche seseorang. Hasilnya adalah bahwa ia mendapati beberapa karakter masyarakat Indonesia. Menurutnya, bangsa Indonesia di samping memiliki karakter yang terkenal ramah bagi bangsa lain, juga memiliki karakter-karakter gelap seperti tidak dewasa (immature), penakut (fearful), tidak berdaya (powerless), irasional (irrational), dan memiliki kesulitan dalam mengatur diri (difficulty in managing ourselves). Pendapat Julia Suryakusuma ini tentu sangat bisa diperdebatkan sebenarnya, namun dalam beberapa kasus, argumen-argumen beliau memiliki banyak pembenaran. Salah satunya adalah dalam kasus mencontek massal yang diorganisir oleh sebuah Sekolah Dasar Negeri di Surabaya beberapa saat yang lalu.

Baru-baru ini, Surabaya dihebohkan dengan kasus mencontek massal yang pertama kali dilaporkan melalui sebuah radio komunitas terkenal di Surabaya. Kasus ini bermula dari laporan seorang ibu yang mendapati bahwa anaknya tertekan karena menjadi sumber contekan massal di sekolahnya. Sang anak merasa bahwa ia mengkhianati pendidikan ?jujur? yang selama ini telah diajarkan. Menariknya lagi, kasus pencontekan ini tidak diawali oleh inisiatif murid, seperti yang biasa terjadi, namun sengaja diatur oleh pihak sekolah agar seluruh murid kelas VI lulus dengan nilai yang baik. Kasus ini kemudian ditindaklanjuti oleh Walikota Surabaya hingga menjatuhkan sanksi bagi kepala sekolah dan beberapa orang guru dari sekolah tersebut. Hasilnya? Keluarga si murid dijauhi oleh tetangga yang kebanyakan juga merupakan wali-wali murid sekolah tersebut. Bahkan, mereka menghendaki keluarga tersebut untuk pergi dari wilayah mereka. Ketika diadakan mediasi di sekolah, wali murid yang lain menolak permintaan maaf keluarga pelapor, bahkan ketika pihak sekolah telah dinyatakan bersalah. Bagi mereka, mencontek adalah sebuah hal yang wajar. Wajar? Benarkah?

Ketika yang benar dan yang salah menjadi logika yang terbalik-balik, dalam kasus ini saya mendapati bahwa argumen Julia Suryakusuma sekali lagi mendapat pembuktian.

TIdak dewasa (immature). Hal pertama yang dikatakan Julia adalah bahwa bangsa Indonesia memiliki karakter tidak dewasa. Salah satu hal yang paling mendasar dalam ketidakdewasaan ini adalah bahwa bangsa Indonesia masih lebih menyukai hasil daripada proses. Sekolah bukanlah sebuah proses memperoleh ilmu, tetapi sekolah adalah tentang memperoleh nilai. Dalam skala yang lebih besar, bahkan, orang lebih tertarik untuk mengatakan gelar apa yang ia peroleh ketimbang apa yang telah ia pelajari dan apa yang sekiranya bisa ia kontribusikan selama dan setelah masa sekolah. Dengan cara pikir yang demikian, tentu sangat wajar apabila wali murid sekolah tersebut berpendapat bahwa mencontek adalah sebuah hal yang wajar. Tidak penting bahwa anak-anak mereka mengetahui sesuatu atau belajar sesuatu, tetapi nilai atau gelar mereka harus berkata lebih banyak. Maka, tidak mengherankan bahwa nilai kejujuran atau zero tolerance policy seperti yang diterapkan di banyak sekolah lainnya tidak menjadi standar. Namun, karakter macam apa yang sebenarnya ingin dibangun oleh sekolah? Apakah pendidikan itu sebenarnya? Perolehan nilai?

Penakut (fearful), tidak berdaya (powerless), dan kesulitan dalam mengatur diri sendiri (difficulty in managing ourselves). Bangsa Indonesia, bagi Julia, juga merupakan sekumpulan orang yang penakut. Salah satu hal yang menunjukkan hal ini adalah bahwa kebanyakan orang Indonesia sering bersikap egois. Egoisme dan ketakutan ini, menurut pendapat saya, juga merupakan manifestasi karakter tidak berdaya. Bukankah jika kita merasa tidak berdaya, kita cenderung bersikap egois dan menyalahkan orang lain, alih-alih menunjuk diri sendiri? Hal ini disebabkan karena kita tidak cukup kuat untuk bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri. Salah satu hal lain yang juga terkait adalah bahwa kemudian kita juga menjadi sulit untuk mengatur diri sendiri. Alih-alih bersikap ksatria, kita akan cenderung lebih memilih untuk bertindak emosional dan berlebihan. Karakter-karakter demikian akan kita temukan dalam bagaimana reaksi warga sekolah dalam menanggapi kasus pelaporan pencontekan ini. Mereka, alih-alih mengakui bahwa mencontek adalah perbuatan yang salah, justru membenarkan pencontekan. Mereka juga bersikap egois dengan ingin mengusir keluarga pelapor karena mungkin mereka beranggapan bahwa keluarga pelapor menjadi ancaman bagi mereka.

Irasional (irrational). Salah satu hal yang paling menonjol tentu adalah sikap irasional. Sikap ini jelas muncul melalui absennya logika warga sekolah dalam menilai. Kebenaran bagi mereka menjadi sebuah definisi yaitu bahwa mereka benar selama mereka dibenarkan secara massal dan bahwa mereka berhasil menyingkirkan orang-orang yang mengkritik mereka.

Lalu, apakah sekolah itu? Bagi saya, sistem pengajaran di banyak sekolah di Indonesia dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir sebenarnya telah banyak mengalami perubahan. Banyak sekolah akhirnya menerapkan sistem yang ketika saya masih kecil disebut sebagai Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), entah bagaimana disebutnya sekarang. Tapi saya mengetahui bahwa murid telah mendapat porsi berpikir dan berpendapat yang lebih dari masa saya bersekolah dulu. Namun, satu persepsi yang masih salah adalah bahwa sering kali sekolah dianggap hanya sebagai agen pencetak nilai. Penanaman nilai dan karakter baik tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting. Hal lain yang lebih menyedihkan adalah bahwa orang tua sering kali merasa bahwa mereka tidak ada perlu dan merasa tidak harus berperan dalam mendidik anak. Padahal, seharusnya orang tua harus memiliki porsi yang lebih besar dalam penularan sifat-sifat dan karakter-karakter baik, terlepas dari apakah ia bisa membantu putra-putrinya belajar fisika atau matematika. Nilai apakah yang ingin kita wariskan pada anak cucu kita? Apakah hanya nilai A atau 100 yang entah kita dapat dari mana? Atau pelajaran bahwa yang terpenting adalah selalu keberhasilan untuk bangun setelah jatuh?

Even Einstein was once called as an idiot.

[1] Julia Suryakusuma adalah seorang feminis dan penulis buku Sex, Power, and Nation (2004) yang merupakan kumpulan esainya yang pernah diterbitkan di berbagai surat kabar dan jurnal, salah satunya di harian yang berbasis di Jepang, Yomiuri Shimbun. Esai ?SOS! Psyche in Crisis!? ikut terangkum dalam buku tersebut.

Ditulis Oleh : Satiti Ingastrin


Related posts

Sekilas Melihat Tandon Dan Pipa Air Di Dukuh Sidowayah

admin01

Smart Side Of Surabaya 17 Agustus – an

admin01

Lomba Replika Busana Nasional dan Seminar Pelangi Nusantara

admin01
buka chat
Butuh bantuan?
hi kakak
Ada yang bisa kami bantu?